Nama Louw Djeng Tie Tetap Harum Untuk Selama-Lamanja (Sumber: Louw Djeng Tie; Djago Silat Jang Terbenam; Bab VII)
Untuk keempat kalinya Djeng Tie pindah lagi ke kampung semen. Pada kampung inilah akhirnya Djeng Tie menamatkan lakonnya dan meninggalkan dunia yang fana ini.
Murid-murid Djeng Tie pun sekarang sudah berganti semua dengan anak-anak muda angkatan baru. Hoo Liep Poen/ Hoo Tik Tjay atau dengan nama sekolah Tju Liong San adalah bintang dari sekalian teman belajarnya. Dialah murid Djeng Tie satu-satunya yang paling giat dan pandai serta paling disayang Djeng Tie. Dengan singkat dapatlah dikatakan bahwa segenap kepandaian Djeng Tie seolah-olah sudah dicurahkan pada pemuda itu. Sementara murid-murid lainnya yang juga dapat disebutkan juga ialah: Goei Tjin Giok, Souw Sie Lien, Souw Swie Liang, Oey Djie Kim, Tee Tik Ie, Lien Liang Tjun, Goei Tiang Kin, Goei Tiang Liong, Goei Tiang Ging, Ong Tjin Sing, Jap Khay Kie, Tan Ngo San, Ong Tjin Tjun dan Lie Thian Lay.
Ketika itu keadaan kesehatannya boleh dikata sudah tidak mengijinkan lagi. Matanya sudah kabur, jalannya sudah tidak sebagaimana biasa lagi. Tetapi sekalipun demikian apabila ia berada di tengah-tengah muridnya ternyata ia masih tetap gagah serta tidak kurang angkernya. Nyatalah bahwa cacat dalam lahirnya itu tidak mempengaruhi banyak keadaan batinnya.
Ketika Suhu Tan Tik Siu pesiar ke Dieng, ia singgah juga ke rumah Loothia The Hoay Hien di kampong Sebokarang. Pada malam harinya dengan setengah memaksa ia minta agar Djeng Tie mempertunjukkan kepandaiannya.
Lebih jauh Suhu itu menyatakan bahwa ia ingin sekali menyaksikan koenthao Siao Liem yang katanya dimainkan dengan tangan dan kaki secara sempurna.
Semula Djeng Tie menolak permintaan itu dikarenakan kesehatannya. Tetapi karena permintaan itu diajukan berulang-ulang maka Djeng Tie merasa tidak enak juga dan akhirnya dipenuhinya juga. Ia berangkat dengan membawa serombongan murid-muridnya yang terdiri dari Hoo Liep Poen, Souw Swie Lien, Njoo Khay Djiang, Souw Swie Liang, Djie Jang Yok, Djie Jang In, Souw Swie Djing, Pik Hian Tjiao, The Tjien Giok, Goei Tjin Poo, The Tjin Liat, Lie Kwat Ling dan Lie Kwat Hien.
Iika penulis tidak salah ingat ketika itu diantara tamu tampak Kho King Hui, Ang Kian Goan, Ang Bing Soan, Tan Bing Lin dan Tan Ing Siu dari Tulungagung. Sementara dari Solo kelihatan Tan Kiong Wan, Ong Siauw Hoen dan Kwok Siong Hong serta beberapa tamu-tamu dari Kediri, Blitar, Jogja, Magelang dan Temanggung.
Sekalian murid Djeng Tie tersebut diatas dengan bergiliran mendemonstrasikan koenthao dihadapan Tan Tik Siu dan para pengikutnya. Sehabis murid-muridnya main, lalu tiba giliran Djeng Tie yang lalu memainkan Thay Tjo Koen dengan siang kiam (sepasang pedang) dalam dua jurus. Mereka yang menonton merasa amat kagum karena sekalipun tempat tersebut sempit dan banyak barang-barang perabot di sekelilingnya tetapi ia bisa main dengan tidak sedikitpun menyinggung barang-barang disekelilingnya.
Tan Tik Siu dalam pesan yang kemudian dituliskan, melukiskan bahwa ia merasa amat kagum melihat silat halus yang diperlihatkan Djeng Tie, yang selamanya belum pernah dilihatnya dan belum pernah ada tandingannya diseluruh tanah Jawa. Sesungguhnya Djeng Tie memang lebih menghargai silat halus (noei koen) daripada silat kasar (nge koen). Itu memang pokok dasar ilmu koenthao Siao Liem yang sejati. Dari ilmu silat halus yang paling digemarinya selain “Kauw Koen” (koenthao Monyet), ialah” Li Djin See Tjung” (Kaum Wanita Berias) dan” Bi Djin Tjioo Kia” (Perempuan Elok Berkaca). Kalau Djeng Tie memainkan kedua ilmu koenthao ini terutama yang tersebut belakangan, ada kelihatan begitu halus dan manis, tetapi yang lebih menarik lagi ialah tindakan kaki dan tangannya persis seperti seorang perempuan totok.
Bukti lain yang menunjukkan betapa lihaynya jago Siao Liem ini, yaitu setiap kali di Parakan kedatangan tukang membarang silat Hongyang, niscaya lebih dahulu pasti pergi mengunjungi rumah Djeng Tie sebelum mereka memulai.
Entah berapa kali Djeng Tie ditawari untuk menjadi kaosoe di berbagai tempat, namun selalu ditolaknya dengan alasan karena umur yang sudah tua dan kesehatannya. Sementara kalau diminta supaya menunjuk saja salah satu muridnya untuk mewakili, maka selalu dijawab dengan alasan murid tersebut belum cukup pengetahuan.
Kelihatannya Djeng Tie sangat memperhatikan dan pandang tinggi sekali akan kehormatan dan kewajibannya seorang guru, hingga selamanya ia sendiri selalu menjaga diri dengan cukup hati-hati, dan pada muridnya pun tidak luput sering kali diberi nasehat, jangan sekali-kali berani gegabah pikul nama menjadi kaosoe.
30 tahun lamanya ia berdiam dan membuka bukoan di Parakan, baik besar maupun kecil dalam demonstrasi dan berkelahi belum pernah Djeng Tie jatuh terpeleset dari kedudukannya. Lagipula dari sebegitu banyak ahli bugee yang memberikan komentarnya, belum pernah ada celaan tentang pelajaran yang diberikan Djeng Tie.
Dan sesungguhnya juga, selama Djeng Tie membuka bukoan kerap kali didatangi oleh kaosoe-kaosoe dari berbagai tempat yang bermula ingin mengajak adu kepandaian, tapi begitu lekas mereka sudah melihat Djeng Tie memperlihatkan kekosenannya, satu persatu lalu mundur.
Apa yang penulis masih ingat, Kang Tiang Tjoe, seorang kaosoe yang mengajar di Solo, tempo dulu pernah mau menjajal pada Djeng Tie tapi kemudian urung.
Liem Houw San, seorang kaosoe di Jogja yang kabarnya malu lantaran dijatuhkan oleh The Oen Soei, yang berasal dari Solo, juga telah datang minta tambahan ilmu pada Djeng Tie.
Louw Djeng Tie meninggal dunia pada tanggal 26 Djigwee 2472, tatkala ia berusia 66 tahun. Karena ia tidak memiliki anak, maka segala upacara penguburan dan pemeliharaan kuburannya dilakukan oleh Hoo Liep Poen, itu murid yang paling dikasihinya itu. Demikianlah kuburannya yang ada di gunung Manden masih terus dibawah pengawasan Hoo Liep poen tersebut.
Beberapa tahun kemudian setelah Djeng Tie meninggal, maka kota Parakan menjadi sepi seolah-olah tidak ada pamornya. Kemudian serombongan anak-anak muda yang gemar berolahraga datang kerumah Hoo Liep Poen untuk meminta supaya ia mau meneruskan pekerjaan mendiang suhunya itu.
Semula Liep Poen menolak keras dengan alasan tidak memiliki kepandaian untuk menjadi seorang kaosoe seperti gurunya itu. Tetapi belakangan karena permintaan yang terus mendesak maka ia mau juga. Liep Poen memberikan pelajaran tidak berlainan dengan suhunya. Makin hari anak-anak muda yang belajar makin banyak juga. Ketika itu yang aktif menjadi muridnya diantaranya : The Tjin Tjo, Tan Hap Hoo, Tjan Khing Jong, Tjan Khing Tjoen, Hoo Han Bien, Siem Bian Hok, Siem Bian Tjiang, Siem Bian Tik, Tjan Hoa San dan masih banyak lagi.
Belakangan ada undangan untuk mengajar di Tulungagung dan muridnya yang bernama The Tjin Tjo yang kemudian mengajar disana.
Semenjak itu kota Parakan lalu menjadi terang lagi dan terkenal sebagai kedungnya koenthao Siao Liem. Ketika diadakan opera drama oleh Thian Tjit Hie pada bulan juni tahun 1932, Tjan Khing Jong, salah satu murid dari Hoo Liep Poen telah menyumbangkan permainan koenthao Kauw Koen sebagai pertunjukan yang paling menarik. Pertunjukan itu dilakukannya dengan memakai kedok dan seluruh tubuhnya memakai pakaian berwarna abu-abu laksana seekor kera yang sedang meloncat-loncat di hutan belukar. Karena saking indah dan halusnya silat itu, maka seluruh ruangan yang penuh sesak itupun sunyi senyap karena sekalian penonton dengan asiknya memperhatikan koenthao Kauw Koen yang sedang dimainkan diatas podium pertunjukan itu. Pertunjukan itu mendapat sambutan hangat dan tepukan yang riuh rendah.